Minggu, 18 Januari 2009

ANAK KITA DAN ZAMAN


Posted in Keluarga by Leila Amra on the December 24th, 2008
“Wah sudah besar, ya anakmu?” apa yang kita rasakan ketika mendengar sapaan itu. Bangga? Rata-rata demikian. Setiap orang tua akan bangga ketika disapa demikian. Anakku sudah besar, pikir kita.
Tapi pernahkah kita tersentak mendengar sapaan itu, ?anakku sudah besar?’ Ya anakmu sudah besar. Sudah bertambah usianya. Dan apa saja yang telah engkau berikan kepada anakmu sepanjang usianya? Tahukah kau peristiwa apa saja yang telah terjadi sepanjang usianya? Ketika ia tertawa bahagia, mendapatkan momen yang membungakan perasaannya, hadirkah engkau di sana, turut tertawa bahagia bersamanya? Dan ketika ia meneteskan air mata duka karena kecewa dan hatinya luka, apakah engkau ada di sisinya? Engkau jadikan dadamu sebagai tumpahan air matanya? Dan engkau usap rambutnya yang halus agar ia tahu bahwa ia tak menangis sendirian, bahwa engkau ada bersamanya? Berempati merasakan duka dengannya. Seberapa sering itu kau lakukan?
Tahukah engkau dengan siapa saja ia bermain? Apa yang ia mainkan? Ataukah kau hanya berkutat dengan duniamu sendiri dan merasa anakmu akan baik-baik saja?
Dan tahu-tahu, anakmu sudah bertambah besar, bertambah usianya, dan kau tak akan bisa lagi mendampinginya.
Anak kita adalah anak zaman. Ia tumbuh seiring pertumbuhan zaman, dan usianya mengikuti zaman. Tapi kita, orang tua, semestinya menjadi guide baginya mengikuti zaman. Kita harus bisa menjadi rembulan yang bersinar terang bagi anak-anak kita di zaman yang serba gulita. Ketika anak-anak kita menatap ke angkasa mereka merasa akan baik-baik saja, karena ayah bundanya selalu bersama mereka. Kalaupun tak bisa senantiasa bersama, tapi cahayanya, ajarannya, ada dekat dengan mereka.
Tapi sadarkah bahwa orang tua sering ?merampas’ kebersamaan itu? Kesibukan kita mencari nafkah, aktualisasi diri kita, jadi alasan untuk membuang kesempatan emas kita untuk bersama mereka. Lalu kita percayakan anak-anak kita pada orang lain, pengasuh, playgroup, sekolah-sekolah unggulan, dan teman-teman mereka. Maaf, ini bukan saja pemikiran para eksekutif dan kaum karir, tapi tak sedikit pasangan suami-istri pegiat dakwah yang berpikiran demikian.
Sebagian orang tua malah percaya bahwa jika orang tua terus mendampingi anak maka akan melemahkan mental anak. Lebih baik jika diasuh oleh orang lain dan dibiarkan main sesuka mereka.
Masya Allah, lupakah mereka dengan pesan Nabi saw. “Al waladu lil firasy - anak adalah milik orang tua.” Dan bukankah orang tua yang menentukan keyahudian, kenasranian dan kemajusian anak-anak mereka?
Dan, tahu-tahu anakmu sudah besar. Kau sudah tak bisa lagi mendampingi mereka, mereka pun berpaling darimu. Apakah kau akan bangga atau malu? [januar]
[diambil dari Tabloid KELUARGA, edisi 01, 2008]

CEMBURU!


Purwokerto, January 18, 2009
17.45 pm

Si kecil Maira (1 tahun, 2 bulan) sudah mulai banyak kebisaannya. Senang sekali dia sudah bisa berjalan dengan lancar, sekarang malah sudah hampir bisa berlari. Bermain sendiri pun si kecil sudah bisa. Bicaranya sudah banyak, bisa diajak berkomunikasi sedikit-sedikit. Banyak kosakata sederhana yang ia mengerti dengan baik, dan sedikit-sedikit bisa ia ucapkan.
Maira sudah bisa dengan jelas memanggil orang-orang terdekatnya. Ma..ma… begitu dia memanggil hodimahku, seorang ibu yang biasa mengasuh anak-anakku yang juga tetangga sebelah rumahku. Ba..Pu..pu.., panggilan untuk anak bungsu hodimahku yang sering bermain dengannya, namanya Puput. Terus Maira bisa mengucapkan Ba..Wi.., untuk memanggil anak keempat hodimahku, anak smu yang sering membantu ibunya mengasuh anak-anakku, Dewi namanya.
Masss.., sambil mendesis lucu , itu panggilan khas Maira buat kakaknya Zidan. Dan si kecil HUMAIRA NAILA FARAFISHA pun sudah dengan sangat fasihnya memanggil A..bi.., A..bi.., ya sebuah panggilan untuk suamiku, ayahnya. Mas Bambang (nama suamiku), tersenyum puas penuh kebanggaan sebagai seorang ayah ketika pertama kali dipanggil dengan panggilan Abi oleh putri sematawayangnya. Senyum penuh kemenangan yang sedikit banyak membuat hatiku…apa ya kata yang tepat untuk melukiskannya…? Mmmhh.. senyum dan perasaan yang sekarang belum bisa kumiliki…
Putri keduaku ini memang lebih banyak beriteraksi dengan orang-orang yang kusebutkan diatas. Karena praktis waktu yang kumiliki untuknya hanya sedikit , itu pun dengan sisa-sia tenaga dan pikiran setelah seharian lelah bekerja. Meskipun aku berusaha dengan sekuat tenaga bahwa yang kuberikan padanya bukanlah sisa-sisa, melainkan betul-betul curahan dan perhatianku yang aku pastikan betul benar-benar berkualitas dan bukan hanya sekedar kuantitas apalagi cuma sekedar rutinitas. Jadi meskipun sebentar aku pastikan dia merasa bahwa akulah orang terdekatnya.
Memang tahun ketigaku ini boleh dibilang tahun tersibuk dan terpadat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Aku senang, bahkan boleh dibilang menikmati, karena memang aku suka sekali dengan kesibukan dan paling suka dengan tantangan. Semakin menantang suatu pekerjaan, semakin semangat untuk bisa menaklukkan tantangan tersebut. Rasanya puas sekali apabila berhasil melalui sebuah tantangan, kemudian mencari tantangan yang berikutnya. Hanya saja aku selalu dibenturkan dengan posisiku sebagai seorang ibu. Ibu dari dua orang anak…
Suamiku sangat memahami aku, dialah yang mendorongku untuk bekerja diluar, padahal waktu itu aku hanya menginginkan menjadi seorang istri dan seorang ibu saja yang mengurus rumah untuk keluargaku. Tetapi sekali lagi Mas Bambang itu sangat mengenali aku dan karakterku, katanya sayang sekali potensiku kalau tidak digunakan. Maka ia mendorongku untuk mempunyai aktifitas diluar, maksudnya bekerja, dengan satu syarat, rumah tetap membutuhkan sentuhanku. Menurutnya jangan pikirkan jumlah financial yang diperoleh hal terpenting adalah aku merasa nyaman dan bisa mengaktualisasikan diri. Masih menurutnya, kalau mau berpikir pragmatis, maisyah dari suamiku saja sudah cukup untuk menafkahi kami sekeluarga. Karena memang gaya hidup kami standar-standar saja.
Jadilah aku disini bekerja sebagai guru sekolah dasar, sebuah pekerjaan yang Subhanalloh sangat aku nikmati detik demi detiknya dengan perasaan semakin jatuh cinta di setiap perpindahan waktunya. Demi Alloh aku jatuh cinta…, dengan anak-anak yang kuajar, dengan buku-buku yang kubaca dan kuajarkan, dengan papan tulis dan spidolnya, dengan tumpukan kertas-kertas koreksian, dengan barisan angka-angka nilai anak-anak muridku, dengan semua detil yang berkaitan dengan pekerjaanku sebagai seorang guru… kepada semuanya itu terucap… ana uhibukum fillah...
Permasalahannya muncul ketika ada amanah lain diluar jam kerja yang membuatku harus sering pulang sore melewati jam kerja. Waktuku untuk keluargaku jauh berkurang dan menumbuhkan banyak sekali perasaan bersalah dan berdosa kepada anak-anakku, feels like I’m not a good mother even I’m not a good wife either. Dan hari ini aku mengalami perasaan pahit sekali ketika putri keduaku bisa dengan fasih, jelas, lancar, manja memanggil A..bi.. kepada suamiku, sementara dia belum bisa dengan lengkap memanggilku dengan panggilan yang selama ini sangat kunanti-nantikan ketika anakku sudah mulai bisa bicara… Ummi…
Humaira Naila Farafisha, putri keduaku sudah bisa memanggil orang-orang disekelilingnya dengan jelas sementara kepadaku dia baru bisa memanggil Mi..Mi.. Memang hanya sebuah panggilan tapi apakah terlalu muluk keinginanku kalau aku menginginkan anakku bisa memanggilku dengan lengkap lebih dulu dan bukan orang lain? Rasanya pantas kalau aku CEMBURU….

Posting terkait:
Senja, Takut, Hujan dan Malam

Translate